Kampung Naga
Agustus 7, 2008 pada 10:51 am (Jurnalistik)
Kampung Naga adalah suatu perkampungan yang dihuni sekelompok masyarakat yang kuat memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya. Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandigkan dengan masyarakat lain diluar Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan.
Kampung Naga secara administratif berada diwilayah Desa Neglasari, kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan Kota Garut dan Kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, disebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena didalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebekah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari gunung Cikurai di daerah Garut.dalam suasana kesehajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat.
Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kempung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (sunda:sengked) sampai ketepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.
Menurut data dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur. Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan , kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.
Adat dan Kepercayaan.
Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama islam, namun syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Bagi masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan agamanya sangat patuh pada warisan nenek moyang. Umpamanya salat lima waktu ; subuh, Zuhur, Asar, Magrib, dan Isa hanya dilakukan pada hari Jum’at. Sedangkan pada hari-hari lain mereka tdak menjalankan salat lima waktu. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam senin dan kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam jum’at.
Dalam menunaikan rukun Islam yang ke lima atau Ibadah Haji, menurut anggapan mereka tidak perlu jauh-jauh pergi ketanah suci Mekah, cukup melaksanakan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan hari raya yaitu setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kamung Naga sama dengan hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri.
Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidk dilakukan karuhunnya dianggap tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adapt, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada makhluk halus masih dipegang kuat, percaya adanya jurig cai, yaitu makhluk halus yang menempati air atau sungaiterutama bagian sungai yang dalam (leuwi). Kemudian “ririwa” yaitu makhluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut “kunti anak” yaitu makhluk halus yang berasak dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau yang akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal makhluk halus tersebut oleh masyarakat Kampug Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian tempat-tempat seperti makan Sembah Eyang Singaparna, Bumi Ageung dan masjid merupakan tempat yang dianggap suci bagi masyarakat Kampung Naga.
Pantangan.
Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupan. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hokum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setip orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga haru panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kea rah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah barat-timur. Dinding dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh di cat, kecuali di kapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedong.
Rumah tidak boleh di lengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rezeki yang masuk ke dalam rumah melalui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu yang sejajar dalam satu gari lurus.
Dibidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampun Naga yang hendak menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan diluar wilayah Kampung Naga.
Adapun pantangan atau tabu lainnya, yaitu pada hari selasa, rabu dan sabtu. Masyarakat Kampung Naga dilarang membicarakan soal adat istiadat dan asal-usul Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga sangat menghotmati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal bakal nasyarakat Kampung Naga. Sementara itu di Tasikmalaya ada sebuah tempat bernama Singparna, Masyarakat Kampung Naga menyebutnya nama teresbut Galunggung, karena kata Singaparna brdekatan dengan Singaparna nama leluhur masyarakat Kampung Naga.
Senapan Angin Cipacing
Agustus 1, 2008 pada 8:21 am (Jurnalistik)
Kota kecil yang terkenal dengan kesenian tradisional “kuda renggong” dan makanan khasnya “tahu” itu tak lain adalah Kota Sumedang. Sekitar 40 km arah selatan Kota Sumedang ada satu Kecamatan yang terdiri dari beberapa Desa yaitu Cipacing, Cileles, Sayang, Cikeruh, Cilampi, Hegarmanah, Jatiroke dan Jatimukti, semua Desa tersebut termasuk kedalam wilayah Kecamatan Jatinangor. Kecamatan ini sudah terkenal luas akan kerajinan tangannya, mulai dari kesenian memahat, mengukuir dan membuat senapan angin. kerajinan tangan masyarakat Cipacing telah terkanal hingga mancanegara, termasuk membuat senapan angin. industri senapan angin di Cipacing telah berlangsung satu abad silam, tepatnya tahun 1854 oleh Raden Nata Dimadja. Raden Nata Dimadja adalah orang yang pertama kali merintis usaha membuat senapan angin di Cipacing. Sedangkan di Dunia senapan angin dikembangkan ketika perang kemerdekaan Amerika Serikat melawan Inggris.
Senapan angin adalah jenis senapan yang menggunakan sistem pneumatik atau tekanan udara. Ada tiga jenis senapan angin yaitu senapan angin tipe gas, pompa dan tipe per. Di sepanjang jalan raya Cileunyi-Rancaekek sekurangnya ada 20 toko yang menjual senapan angin buatan Cipacing, harga yang ditawarkan pun berpariasi, mulai dari Rp. 1.500.000 hingga Rp. 8.000.000 untuk senapan angin tipe gas, sedangkan untuk tipe pompa dan per berkisar Rp. 300.000 hingga Rp.1.500.000. Tak hanya di pajangkan untuk dijual saja, biasanya pesanan datang dari beberapa Kota besar seperti Maluku, Irian Jaya, Aceh, Sumater dan Kalimantan. Namun kerusuhan dan berbagai konflik membuat turunnya pesanan dengan sangat drastis.
Pembuatan Senapan Angin Cipacing.
Bahan untuk laras menggunakan pipa besi supaya laras nantinya tidak mudah melengkung dan patah, dengan diameter 12 mm sampai dengan 15 mm. Bahan di potong sepanjang 50 cm sampai dengan 60 cm atau sesuai dengan jenis senapan angin yang di inginkan. laras selanjutnya disambungkan dengan BOK peluru kemudian digabungkan dengan tabung dengan cara di patri (lem bakar untuk besi).
dihaluskan pada mesin grinda. bentuk pemicu pada umumnya melengkung tapi ada juga yang dibentuklurus.